Ngaji Jomblo (01) : Biar Ngga 'Nyesel' Setelah Nikah (Ust. Felix Siauw)
- Astri Irma Yunita
- Jan 10, 2021
- 3 min read
Manusia senantiasa berada di antara harapan dan penyesalan. Bagaimana caranya agar kita selalu tetap memiliki harapan, di mana harapan tersebut tidak melebihi angan-angan?. Bagaimana caranya agar kita tidak menyesal ?.
Ada baiknya, kita menjawab beberapa pertanyaan berikut :
Kenapa kita mau nikah ?.
Atas dasar apa kita mau menikah ?,
Kenapa kita mau melanjutkan ke jenjang pernikahan?.
Akan sangat sulit, kalau seandainya bayangan kita tentang pernikahan adalah bukan sesuatu yang benar, bukan sesuatu yang tepat, dan bukan sesuatu yang memang berlandaskan dengan syariat.
Jika teman-teman sudah bisa menjawab beberapa pertanyaan di atas, otomatis teman-teman akan menemukan karakteristik yang diperlukan.
Saya pernah bilang sama @ummualila, kalau saya memilih kamu karena fisik, mungkin suatu saat saya akan menyesal, karena menemukan yang jauh lebih cantik, lebih putih, ya akan ada istilah rumput tetangga jauh lebih hijau daripada rumput sendiri. Karena, yang namanya cantik bukan hanya berdasarkan fisik tetapi berdasarkan perasaan, berdasarkan penasaran, dan seterusnya.
Saya pernah bilang sama @ummualila, kalau saya memilih kamu karena fisik, mungkin suatu saat saya akan menyesal, karena menemukan yang jauh lebih cantik, lebih putih, ya akan ada istilah rumput tetangga jauh lebih hijau daripada rumput sendiri. Karena, yang namanya cantik bukan hanya berdasarkan fisik tetapi berdasarkan perasaan, berdasarkan penasaran, dan seterusnya.
Saya menikah dengan @ummualila, karena saya menginginkan seseorang perempuan yang mendukung saya dalam dakwah, dan dia bisa menjadi ibu dari anak-anak saya. That’s enough.
Maka, yang saya perlukan untuk dakwah adalah :
(1) Orang yang mau mendukung saya dalam dakwah saya
(2) Orang yang mau mengurusi anak-anak saya kelak nanti akan meneruskan langkah-langkah dakwah saya ini.
Ketika dalam proses pencarian, saya menemukan orang yang cantik, seksi, dan playfull, dan dalam diri saya berkata, “Saya pengen orang kayak begini, seksi, playfull, putih, kaya, dan lalu kemudian saya berpikir kembali, ‘Kalau untuk diajak main-main, mungkin iya. Kalau diajak untuk berpacaran, mungkin iya. Tapi, yang saya perlukan kan bukan untuk diajak main-main atau berpacaran. Sosok yang saya perlukan adalah seseorang yang bisa menjadi ibu dari anak-anak saya, yang punya rasa keibuan yang tinggi, yang punya rasa feminitas yang tinggi, dan bersamanya ada standar kehidupan saya di masa yang akan datang.
Adapun, ketika saya mendapatkan yang cantik, maka itu adalah bonus, dan laki-laki pastinya memiliki kecenderungan akan hal itu, terutama tertarik akan kecantikan wajahnya. Maka, ketika melihat dia saya demen, ketika melihat dia saya senang, ketika melihat dia saya tenang, itu cukup bagi saya. Saya tidak perlu melihat indikator kecantikan yang lain seperti tingkat keputihan.
Dan fenomena ini banyak dijumpai pada zaman sekarang, misalnya ada seseorang yang datang mengkhitbah perempuan, dan perempuan itu menolak dalam hatinya, ‘Ah ngga mau ah, aku ngga mau sama dia, aku sudah suka dengan seseorang. Aku cuma suka sama dia, dan aku hanya mau nikah sama dia’.
Lalu saya bertanya, ‘Untuk apa kamu menikah?’
Jawabnya, ‘Saya menikah untuk dakwah’
‘Lalu, kenapa harus sama dia?’
‘Oh, karena dia memiliki kemampuan dalam bidang Al Quran. Kalau yang lain, juga memiliki kemampuan dalam bidang Al Quran, apakah kamu mau?’
‘Ngga, aku maunya hanya sama dia’
‘Nah, inilah yang dinamakan alasan yang hanya mengedepankan hawa nafsu bukan karena pertimbangan syariat, bukan pula menginginkan satu fase yang berbeda untuk ketaatan kepada Allah. Ketaatan ini seharusnya menjadi pertimbangan utama ketika seseorang mau menikah.'
Lalu pertanyaannya ustadz, “Kapan kita harus menerima seseorang atau menolak seseorang?”
Kita harus menerima seseorang, kalau dia sudah memenuhi standar yang kita perlukan di masa depan. Kalau memang cuma untuk dakwah, untuk lillahi ta’ala, maka ketika datang seorang laki-laki yang baik, dan dia sudah punya komitmen di dalam dakwah, sudah punya komitmen dalam ketaatan kepada Allah, ya sudah menikahlah. Enggak perlu harus ideal, enggak semua yang kita inginkan harus jadi nyata engga semua yang kita tulis harus terealisasi, yang sebenarnya harus terealisasi adalah apa yang kita niatkan di jalan Allah, karena wujud dari pernikahan sendiri adalah ibadah.
Ketika laki-laki tahu secara persis alasan mengapa dia menikah, maka dia terlepas dari pertanyaan-pertanyaan berikut ini :
“Ustadz, saya suka dengan seseorang tapi dia non muslim, gimana ya tadz?”
= Ya, tergantung, antum nikahnya untuk apa?
“Ustadz, saya mau nikah tapi beda etnis, saya orang Sunda, dan dia orang Padang”
= Ya, terus kenapa?
Walaupun seolah-olah kita sudah ngaji, kita sudah punya pandangan islami, kita merasa bahwa kita orang dakwah, tapi kadang-kadang apapun yang kita putuskan itu terkadang bukan berdasarkan kebutuhan dakwah yang kita butuhkan, melainkan atas dasar kemauan hawa nafsu. Karena itulah, kita seringkali memutuskan. “Kalau ngga sama dia, kita enggak mau”. Jawaban ‘harus dia’ adalah pandangan yang salah. Kata-kata ‘harus dia’ atau ‘pokoknya harus sama dia’, itu sudah pertanda bahwa tujuan anda menikah bukan karena Allah.
Nafsu itu mudah sekali tertangkap dengan pandangan (mata), tapi pertimbangan-pertimbangan yang lain itu harus bebas dari pengaruh hawa nafsu. Carilah apa yang benar-benar kita perlukan tanpa harus semua standar idealitas yang ada.

Comments