Ngaji Jomblo (02) : Nikah itu dimulai dari persepsi (Ust. Felix Siauw)
- Astri Irma Yunita
- Jan 10, 2021
- 4 min read
Kalau di dalam Islam, Persepsi diibaratkan sebagai aqidah, yang menjadi dasar dari apa yang ingin dibangun di atasnya, dasar dari segala dasar yang pengen dibangun di atasnya. Dengan adanya persepsi mampu mengubah segala apa yang ada pada diri kita, di mana mengubah cara kita memandang, cara kita memahami, mengubah perasaan kita, dan hal lainnya yang melekat pada kita.
Mind blowing, di mana ketika orang sudah punya persepsi yang berbeda, dia akan punya cara pandang, cara bersikap, cara berperasaan yang berbeda, seperti yang lain. Dalam menikah, hal yang harus dilihat pertama kali adalah persepsinya, di mana persepsi ini yang akan menentukan penentuan kriteria pasangan, pernikahan seperti apa yang dia akan ambil, proses-proses yang dia tempuh sebelum masuk ke jenjang pernikahan baik itu karakteristiknya atau cara-cara dia menyelesaikan berbagai masalah yang terjadi sebelum dia menikah, dan kehidupan pasca pernikahan termasuk masalah finansial.
Sebagian besar di antara manusia, menganggap pernikahan itu adalah fenomena yang mereka temui di film-film, yang nantinya akan membawa dia mencari bayangan tersebut, entah seperti apa caranya.
Lalu, bagaimana persepsi nikah yang seharusnya ?. Ya, orang bisa punya banyak persepsi, di mana setiap persepsi memiliki konsekuensi. Sebelum saya mengenal Islam, persepsi saya mengenai pernikahan, seperti fenomena yang saya temui dalam komik-komik jepang, contohnya hal-hal yang terkait romantisme, hubungan cinta antara laki-laki dan perempuan, kangen-kangenan, telpon-telponan, sayang-sayangan, senang memperhatikan orang yang dia sayang dan sangat senang merasa diperhatikan. Itu adalah persepsi lampau, ketika belum hadir persepsi yang lain, di mana persepsi pernikahan yang kita bayangkan hanya sesuatu yang bersifat “All Romantic”, kita tidak tahu bahwa setelah menikah seharusnya ada satu peningkatan untuk tujuan pernikahan yang lain. Nikah, lalu kemudian memiliki pasangan yang bisa diajak ngobrol, memiliki pasangan yang perhatian, atau kalau orangnya yang dominan berpikiran mesum, memikirkan hal yang terkait dengan seks atau biologis. Kemudian, memiliki anak, menjadi seorang bapak, bekerja untuk menghidupi keluarganya lalu mati. Live happily ever after.
Berbicara tentang romantisme, mulai dari tradisi dm-an, tradisi ngajak live bareng di media sosial, tradisi saling berbalas komen, melahirkan persepsi mengenai cara orang dalam menyikapi hubungan romantis. Kemudian, ketika kita berbicara tentang pernikahan, maka respon kita adalah nanti sajalah kita berbicara tentang pernikahan. Yang penting kita selesaikan kuliah dulu, kamu kuliah di Jakarta, dan aku kuliah di Bogor. Nanti, kalau sudah selesai baru kita akan berbicara tentang pernikahan.
Pada hakikatnya, mereka ngga akan serius untuk memikirkan pernikahan. Dan mereka juga tidak serius untuk merencanakan kehidupan pasca pernikahan.Bahkan, mereka juga tidak serius untuk membicarakan kehidupan mereka sendiri. Jadi, bagaimana mau membicarakan kehidupan mereka berdua nantinya, sedangkan kehidupan mereka sendiri saja belum jelas.
Ya, tapi itulah yang dinamakan kebodohan-kebodohan masa lalu.
Lalu, sekarang udah pinter?. Ngga, sekarang masih dan makin bodoh.
Kenapa?, karena semakin kita melihat ilmu itu luas banget, dan persebaran ulama itu banyak banget. Kita semakin tahu bahwa kita adalah orang yang tidak berilmu.
Ketika saya mulai mengenal Islam, Islam mengenalkan saya akan sebuah persepsi dasar, di mana terdapat kehidupan setelah adanya kehidupan yang sekarang. Dan ketika dia berakhir kembali kepada asalnya, yakni kepada penciptanya, dia membawa seluruh apa yang dia lakukan di dunia ini untuk dipertanggungjawabkan, untuk kehidupan yang berikutnya, kehidupan yang real, dan kehidupan yang bukan mimpi seperti sekarang. Maka, semua yang ada di dunia ini sekarang, yang saya alami adalah sesuatu yang cuma diberikan untuk bersiap-siap menghadapi kehidupan yang sesuangguhnya. Ibarat, ada orang yang ngajak saya untuk kemudian jalan-jalan. Siapkan baju, siapkan perbekalan, siapkan uang, untuk nanti kemudian kita jalan-jalan. Nanti, ketika kita jalan, kita akan sampai ke tempat tujuan kita. Dari sana, saya memiliki satu persepsi yang berbeda ketika memandang kehidupan, bahwasanya hidup ini hanya untuk ibadah, hidup ini cuma untuk menghamba kepada Allah.
Setelah saya punya persepsi yang baru tentang tujuan hidup saya di dunia ini, otomatis persepsi saya tentang pernikahan pun berubah. Persepsi tentang pernikahan, yang awalnya cuma romantisme belaka, menjadi sebuah ibadah yang akan dimintai pertanggungjawaban. Jika sholat saja bisa memakan waktu 5-8 menit, jika antum khusyuk banget. Namun, pernikahan adalah ibadah yang memakan waktu bertahun-tahun. Dan, kita pengen istri kitalah yang akan menemani kita di surga nanti, karena pandangan kita sudah berbeda, perspektif kita sudah berbeda, persepsi kita sudah berbeda, sehingga semuanya pun akan berbeda. Berbicara soal ibadah, bukanlah ini menyangkut hal-hal yang hanya saya suka atau hal-hal yang hanya saya prefer, tapi berbicara tentang apa yang Dia (Allah) prefer.
Ketidaktahuan itu mengakibatkan ketakutan, sedangkan pengetahuan itu mengakibatkan ketenangan. Jadi, kalau antum belum cukup tenang, berarti antum belum cukup tahu. Dengan adanya pengetahuan, dia akan melist apa-apa yang dia butuhkan, dan dia akan bisa memahami bahwa dia tidak akan bisa menemukannya dengan jalur pacaran. Pacaran tidak akan pernah bisa membantu saya untuk mendapatkan spek atau material yang saya inginkan. Baik, itu ketika laki-laki ingin mencari wanita untuk dijadikan pasangannya, dan sebaliknya. Kalau saya mau taat kepada Allah, bukan di jalur pacaran yang saya tempuh.
Dan, ketika orang sudah memiliki satu persepsi menikah adalah ibadah, maka tak ada lagi alasan atau keraguan untuk menikah karena faktor finansial. Ketika Shifrun menikah, ketika Hawariyun menikah, saya katakan, “Lebih baik untuk pegang duit setelah nikah dibandingkan menghabiskan semuanya saat pernikahan”. Laki-laki merupakan supporter atau pengayom bagi wanita, di mana seorang laki-laki akan menjadi laki-laki ketika dia memberikan hartanya kepada wanita. Artinya, setelah pernikahan lebih perlu harta dibandingkan saat pernikahan berlangsung.
Kemudian, saya ingin bertanya, “Mohon maaf stadz, wanita ini belum banyak tahu tentang Islam, dia ngga sholat, dan dia ngga kerudungan”. Ya, tergantung persepsi antum apa. Kalau persepsi antum untuk menikah adalah ibadah. Maka, kalau antum lihat dia itu ngga kerudungan, dan itu bisa buat antum nyaman untuk beribadah. Ya, silahkan saja. Kalau saya pribadi berpikir, “Gimana saya bisa nyaman beribadah, kalau saya tidak bisa menemukan istri yang taat kepada Allah?”. Hal ini, jelas berbeda dalam menyikapi kita mendakwahi orang, saya pribadi sangat welcome banget, saya senang banget ketika ada orang yang ngga kerudungan, datang ke kajian saya, saya senang ketika melihat ada seseorang yang mau berubah untuk menjadi baik. Tapi, kalau antum mencari wanita untuk dijadikan istri, menjadi seseorang yang memiliki pengaruh terbesar dalam hidup antum, sementara persepsi menikah menurut antum adalah ibadah, sama saja ketika ada orang awam bertanya, “Ustadz, saya mau sholat, tetapi saya pakai celana pendek, boleh ngga?”. Sekiranya, paham lah ya maksud saya.
Ketika persepsi antum tentang pernikahan sudah benar dan tepat, antum tidak akan mencarinya melalui jalur pacaran. Antum tidak akan bermaksiat, tetapi apa yang akan antum persiapkan dan sibukkan?. Antum akan sibukkan hal-hal lain yang memang sudah antum pahami ketika antum menyusun daftar dari persepsi antum.

Comments